Friday, October 31, 2014

Maafkan Aku

Mereka berdua hanya terdiam memandangi cangkir masing-masing sambil ditemani senandung music jazz lembut. Tamara mengusap-usap gelang mutiaranya sambil menanti Egi mengeluarkan kata berikutnya selain namanya. Perasaan Tamara bercampur aduk antara senang dna marah. Egi yang duduk didepannya terlihat gugup dan berusaha keras membuka bibirnya untuk memulai pembicaran. Keringat dinginnya sudah mengucur sejak ia menunggu Bu GM turun dari singgasananya.

" Egi...", kata Tamara yang tak sabar menanti Egi bicara.
" Ya...?"
" Apa maksudmu kemari?! ", katanya tegas hingga berani menatap mata Egi.

Egi mengamati wanita didepannya yang sudah ditinggalkannya 7 tahun. Tamara kelihatan lebih dewasa dan tegas. Dandanannya sangat cocok dengan profesinya sekarang ini, lebih terlihat elegan dan profesional. Di saat gugup seperti ini pun, Tamara sanggup mengangkat wajahnya walau pun harus mengambil waktu lama untuk mengumpulkan keberaniannya.

Egi sibuk menyusun kata-kata dalam pikiran, Tamara sendiri duduk didepannya sambil menahan rindu dan marah yang sudah bercampur aduk didalam hatinya. Tamara ingin sekali menangis dan memeluk Egi, tapi logikanya berteriak lebih keras dari pada hatinya. Bagi Tamara, Egi sendiri tidak mempunyai perubahan besar. Hanya saja, Egi sudah tidak lagi mengenakan antingnya di telinga kiri, Selepasnya mereka dari bangku SMA, Egi meminta Tamara menemaninya pergi menindik telinga kirinya. Tamara sedikit keberatan saat itu, tapi pikirnya, anak remaja memang seharusnya mencoba sesuatu yang kelihatan sedikit nakal.

Tamara mulai membuat suara dentingan sendok di bibir cangkir untuk membangunkan Egi dari selam pikirnya yang kelewat dalam.
" Susahkah untukmu untuk menjawab pertanyaanku? "
" Bukan begitu, Ra. Aku hanya bingung dari mana seharusnya aku menjelaskan. "
" Kau punya waktu seharian untuk menjelaskan. Aku sudah menunda sebuah meeting penting hari ini. ", katanya dingin dan tegas.
Semenjak Tamara sudah 7 tahun tidak berkomunikasi dengan Egi, hatinya sudah mulai dikendalikan oleh logikanya yang menguat hari demi hari, menciptakan pribadinya yang dingin dan tegas.
" Aku sendiri pun memiliki waktu yang sedikit untuk menjelaskan semuanya. Aku terpaksa menemuimu diam-diam. "
" Diam-diam?? "
" Iya, ayahmu tidak akan senang melihatku datang kemari. ", katanya sambil menaruh tas kameranya ke kursi disebelahnya. Egi belajar arsitek saat kuliah karena itulah cita-cita Egi dan kamera adalah senjatanya.
" Ada apa dengan ayahku? "
" Sesampainya aku di Jakarta, ayahmu dengan cepat menemukanku di kost. Dia menawariku full beasiswa asal aku tidak lagi menemuimu dan menghubungimu. Sesaat itu juga aku menolak keinginannya. Tapi beliau memaksa dengan keras, maka aku terpaksa menerima tawarannya. Ancamannya cukup besar bagiku, katanya, beliau akan menyekolahkanmu di Auckland dan menjadikanmu warga negara disana. Seperti yang kamu tahu, aku tidak akan bisa meraihmu jika kamu meninggalkan Indonesia. "

Rasa marah yang sangat membara di hati Tamara, seketika itu juga luntur dan berubah menjadi sebuah belas kasihan. Tangannya otomatis meraih tangan Egi yang terlihat bergetar dan berusaha untuk menenangkannya. Egi yang sedari tadi hanya memandang Earl Grey Tea - nya, sekarang memandang Tamara yang tersenyum sambil meneteskan air mata kerinduan, air mata rindu yang sudah ditahannya selama 7 tahun.

" Maafkan aku Tamara.... "

No comments:

Post a Comment