Satu kali ada anak cowok yang sedang memikirkan masa depannya, padahal dia masih sangat muda, yaitu berumur 10 tahun. Entah kenapa di umur yang sebegitu mudanya, dia sudah memikirkan masa depannya, sementara anak-anak seumurannya masih menikmati masa kecil mereka dengan bermain nintendo dan PSP. Ternyata hal ini dikarenakan pembicaraan orang tua dan kakaknya semalam.
Sebutlah nama kakaknya Amelia dan anak cowok ini namanya Dean. Amelia sudah menginjak tahun terakhir SMP dan sudah menjalani semua tes kelulusan. Setelah makan malam, seperti biasa Amelia kembali kekamar dan mencari sesuatu untuk dilakukan. Saat itu, papa mamanya memanggil Amelia untuk berbicara sebentar di ruang keluarga, Dean sedikit heran saat mendengar kakaknya dipanggil.
Merasa tidak bisa menahan rasa penasarannya, Dean menguping pembicaraan dari kamarnya. Sayup-sayup terdengar suara berat papanya yang disertai dengan suara televisi. Rasa penasarannya makin besar dan akhirnya Dean memutuskan untuk ikut dalam pembicaraan itu.
" Jadi kamu udah tau mau masuk SMA mana? "
" Belom, pa. Mel masih bingung... "
Mel memejamkan mata dan menunaikan harapan serta doanya dalam hati, hal ini adalah moment yang sudah ditunggu-tunggu sejak dia masuk kelas 3 SMP. Entah berapa malam dia tidur tak nyenyak karena ini.
" Kamu suka pelajaran apa? ", tanya mama sambil menaruh nampan berisi 2 piring pisang goreng.
" Mel suka bahasa, ma. "
" Bahasa? Kenapa bahasa? ", tanya papanya sambil mengerutkan dahi.
Mel sedikit takut saat akan menjelaskan. Latar belakang pendidikan papanya termasuk hebat! Masa SMA-nya dihabiskan dengan buku kumpulan soal matematika dan berkali-kali meraih penghargaan olimpiade matematika dan sekarang menjadi dosen terkemuka di sebuah universitas. Papanya suka mengeluh bila melihat angka 8 di raport anak-anaknya di kolom matematika.
" Soalnya bahasa itu nggak usah.... ngitung. Terus Mel memang suka bahasa dari dulu, kan papa tau Mel suka baca, nulis-nulis cerita... "
" Emang kenapa dengan berhitung? Kamu nggak suka matematika? "
" Nggak suka, pa. Mel punya kesukaan sendiri. "
" Mau jadi apa kamu kalo belajar bahasa? Pujangga? Penulis? "
" Mel mau jadi penulis! "
" Hah?! Mau makan apa kamu nanti??? berapa gaji penulis perbulannya??!?! "
Seluruh badan Mel gemetar dan air matanya menetes perlahan. Dia tahu reaksi papanya akan seperti ini, tidak akan pernah menyetujui dan memberi restu. Untuk anak seumuran Mel, hal ini cukup mengguncang dirinya. Mel hanya bisa berharap mempunyai keberanian yang cukup untuk bisa meraih cita-citanya itu. Tapi, orang tua adalah otoritas tertinggi di keluarga, maka mau tak mau Mel menuruti apa kata papanya. Dengan langkah gontai Mel mengambil langkah seribu versi siput. Dean yang berpura-pura menonton televisi langsung melirik perlahan kearah kakaknya yang berwajah muram lalu mengalihkan pandangan ke wajah papanya yang sedikit garang.
Dean menerawang jauh ke arah teman-temannya yang sedang asyik bermain sepak bola di lapangan dekat rumahnya. Mengingat kejadian semalam, Dean merasa harus merencanakan cita-citanya dan berusaha keras mendukung kakaknya. Entah keberanian dari mana, Dean ingin sekali kakaknya bisa meraih impiannya itu. Sebuah benda jatuh mengenai kepala kecilnya, ide yang entah datang dari mana mulai disusun rapi. Dengan semangat '45, Dean berlari menuju kamarnya dan membuka rak buku dan menarik 1 buku biru berisi iklan. Setelah diambilnya buku itu, Dean berkomat-kamit mengucapkan doa singkat.
Sedikit takut dan ragu, Dean melangkah menuju ruang tamu dan menghampiri orang tua dan Amelia. Amelia membalik-balik halaman dengan cepat, sangat terlihat bahwa hatinya masih gelisah.
" Kak, ajarin Dean dong! "
" Ajarin apa? "
" Ini ada puisi yang katanya bu guru bagus, tapi Dean ga ngerti isinya. "
" Mana kakak liat! "
Buku biru itu langsung ditarik dan dibaca perlahan, iklan warna-warni yang ada didalam buku tersebut menarik perhatian papanya yang sedang mengganti channel tv.
" Apa ini? "
" Ooo... Nggak tau, pa. Dean belom liat tadi. "
Papanya mengrenyitkan dahi dan melirik Amelia yang sedang terlihat konsentrasi. Terlihat sekali ada semangat didalam sorot matanya, sebuah kekaguman terhadap karya tulis yang biasa dibilang papanya adalah barang nggak berguna yang diciptakan sebagai barang buangan. Pelan dan pasti, Amelia menjelaskan isi dari puisi tersebut. Senyum manis yang biasa terlihat di saat-saat bahagia pun membuat hati papanya berdecak kagum. Suara yang berat nan halus pun terdengar...
" Mel, ini ada lomba menulis cerpen, temanya 'My Future'... Mau ikut? "
Amelia tersontak dan matanya terbelalak, rasanya tidak mungkin jika hal ini terjadi begitu cepat. Amelia menoleh kearah adiknya yang sedang tersenyum manis, dengan cepat pula Amelia memeluk adiknya dan berkata kepada papanya, " MEL IKUT! "
Sering kali dalam meraih cita-cita, ada orang-orang tertentu yang menentang cita-cita kita, apalagi jika orang itu adalah orang yang cukup berpengaruh dalam hidup kita. Well, kita cuma bisa diam dan menuruti sih biasanya... Tapi, jangan pernah putus asa saat menentukan cita-cita yang kamu rasa yakin!
He will make a way when there is no more way :)
Sebutlah nama kakaknya Amelia dan anak cowok ini namanya Dean. Amelia sudah menginjak tahun terakhir SMP dan sudah menjalani semua tes kelulusan. Setelah makan malam, seperti biasa Amelia kembali kekamar dan mencari sesuatu untuk dilakukan. Saat itu, papa mamanya memanggil Amelia untuk berbicara sebentar di ruang keluarga, Dean sedikit heran saat mendengar kakaknya dipanggil.
Merasa tidak bisa menahan rasa penasarannya, Dean menguping pembicaraan dari kamarnya. Sayup-sayup terdengar suara berat papanya yang disertai dengan suara televisi. Rasa penasarannya makin besar dan akhirnya Dean memutuskan untuk ikut dalam pembicaraan itu.
" Jadi kamu udah tau mau masuk SMA mana? "
" Belom, pa. Mel masih bingung... "
Mel memejamkan mata dan menunaikan harapan serta doanya dalam hati, hal ini adalah moment yang sudah ditunggu-tunggu sejak dia masuk kelas 3 SMP. Entah berapa malam dia tidur tak nyenyak karena ini.
" Kamu suka pelajaran apa? ", tanya mama sambil menaruh nampan berisi 2 piring pisang goreng.
" Mel suka bahasa, ma. "
" Bahasa? Kenapa bahasa? ", tanya papanya sambil mengerutkan dahi.
Mel sedikit takut saat akan menjelaskan. Latar belakang pendidikan papanya termasuk hebat! Masa SMA-nya dihabiskan dengan buku kumpulan soal matematika dan berkali-kali meraih penghargaan olimpiade matematika dan sekarang menjadi dosen terkemuka di sebuah universitas. Papanya suka mengeluh bila melihat angka 8 di raport anak-anaknya di kolom matematika.
" Soalnya bahasa itu nggak usah.... ngitung. Terus Mel memang suka bahasa dari dulu, kan papa tau Mel suka baca, nulis-nulis cerita... "
" Emang kenapa dengan berhitung? Kamu nggak suka matematika? "
" Nggak suka, pa. Mel punya kesukaan sendiri. "
" Mau jadi apa kamu kalo belajar bahasa? Pujangga? Penulis? "
" Mel mau jadi penulis! "
" Hah?! Mau makan apa kamu nanti??? berapa gaji penulis perbulannya??!?! "
Seluruh badan Mel gemetar dan air matanya menetes perlahan. Dia tahu reaksi papanya akan seperti ini, tidak akan pernah menyetujui dan memberi restu. Untuk anak seumuran Mel, hal ini cukup mengguncang dirinya. Mel hanya bisa berharap mempunyai keberanian yang cukup untuk bisa meraih cita-citanya itu. Tapi, orang tua adalah otoritas tertinggi di keluarga, maka mau tak mau Mel menuruti apa kata papanya. Dengan langkah gontai Mel mengambil langkah seribu versi siput. Dean yang berpura-pura menonton televisi langsung melirik perlahan kearah kakaknya yang berwajah muram lalu mengalihkan pandangan ke wajah papanya yang sedikit garang.
Dean menerawang jauh ke arah teman-temannya yang sedang asyik bermain sepak bola di lapangan dekat rumahnya. Mengingat kejadian semalam, Dean merasa harus merencanakan cita-citanya dan berusaha keras mendukung kakaknya. Entah keberanian dari mana, Dean ingin sekali kakaknya bisa meraih impiannya itu. Sebuah benda jatuh mengenai kepala kecilnya, ide yang entah datang dari mana mulai disusun rapi. Dengan semangat '45, Dean berlari menuju kamarnya dan membuka rak buku dan menarik 1 buku biru berisi iklan. Setelah diambilnya buku itu, Dean berkomat-kamit mengucapkan doa singkat.
Sedikit takut dan ragu, Dean melangkah menuju ruang tamu dan menghampiri orang tua dan Amelia. Amelia membalik-balik halaman dengan cepat, sangat terlihat bahwa hatinya masih gelisah.
" Kak, ajarin Dean dong! "
" Ajarin apa? "
" Ini ada puisi yang katanya bu guru bagus, tapi Dean ga ngerti isinya. "
" Mana kakak liat! "
Buku biru itu langsung ditarik dan dibaca perlahan, iklan warna-warni yang ada didalam buku tersebut menarik perhatian papanya yang sedang mengganti channel tv.
" Apa ini? "
" Ooo... Nggak tau, pa. Dean belom liat tadi. "
Papanya mengrenyitkan dahi dan melirik Amelia yang sedang terlihat konsentrasi. Terlihat sekali ada semangat didalam sorot matanya, sebuah kekaguman terhadap karya tulis yang biasa dibilang papanya adalah barang nggak berguna yang diciptakan sebagai barang buangan. Pelan dan pasti, Amelia menjelaskan isi dari puisi tersebut. Senyum manis yang biasa terlihat di saat-saat bahagia pun membuat hati papanya berdecak kagum. Suara yang berat nan halus pun terdengar...
" Mel, ini ada lomba menulis cerpen, temanya 'My Future'... Mau ikut? "
Amelia tersontak dan matanya terbelalak, rasanya tidak mungkin jika hal ini terjadi begitu cepat. Amelia menoleh kearah adiknya yang sedang tersenyum manis, dengan cepat pula Amelia memeluk adiknya dan berkata kepada papanya, " MEL IKUT! "
Sering kali dalam meraih cita-cita, ada orang-orang tertentu yang menentang cita-cita kita, apalagi jika orang itu adalah orang yang cukup berpengaruh dalam hidup kita. Well, kita cuma bisa diam dan menuruti sih biasanya... Tapi, jangan pernah putus asa saat menentukan cita-cita yang kamu rasa yakin!
He will make a way when there is no more way :)
No comments:
Post a Comment